Riba menurut bahasa berarti tambahan. Sedangkan menurut syara’, riba
adalah tambahan yang diperoleh dari seseorang yang meminjam (barang atau uang)
dengan tempo atau batas waktu. Menurut Ali bin Muhammad al- Juijani, riba
adalah tambahan yang tidak menjadi imbalan bagi sesuatu yang disyaratkan bagi
salah seorang yang meminjam dan yang memberi pinjaman. Riba menurut istilah
tadi barangkali terlalu sempit. Istilah yang lebih baik dikemukakan oleh Syaikh
‘Abdurrahman Taj, yaitu setiap tambahan pada salah satu pihak (dalam) akad mu’awwadlah
tanpa mendapat imbalan, atau tambahan itu diperoleh karena penangguhan.
Riba terdiri dari dua macam: riba
nasiah dan riba fadlal. Akan tetapi menurut para ulama pengikut
Syafi’i, riba terdiri atas tiga macam: riba fadlal yang di
dalamnya termasuk riba qardl, riba nasiah, dan riba yadd. Berdasarkan
hal itu maka kita mengenal berbagai bentuk riba yang tercakup dalam empat
kategori:
- Riba Nasiah: memberi hutang kepada orang lain dengan tempo, yang jika terlambat mengembalikan akan dinaikkan jumlah/nilainya, sebagai tambahan atau sanksi.
- Riba Fadlal: menukarkan barang yang sejenis tetapi tidak sama keadaannya, atau menukar barang yang sejenis tetapi berbeda nilainya.
- Riba Qardl: meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan/keuntungan bagi pihak pemberi utang.
- Riba Yadd: pihak peminjam dan yang meminjamkan uang/barang telah berpisah dari tempat akad sebelum diadakan serah terima. Dalam keadaan demikian khawatir terjadi penyimpangan (yang memunculkan adanya riba).
Riba nasiah
lebih terkenal dengan sebutan riba
jahiliyah, dimana seseorang memberi pinjaman kepada orang
lain, dan setiap bulan diambil tambahan tertentu jika melewati
batas/temponya. Istilah riba jahiliyah disinggung pada khutbah
Rasulullah saw pada saat Haji Wada:
“Dan sesungguhnya
riba jahiliyah itu dihapuskan, dan bahwasannya riba yang pertama kali
kuhapuskan adalah riba pamanku Abbas bin ‘Abdul Muthallib.”
Adapun
hadits yang menyinggung riba fadlal, diriwayatkan dari Abu Sa’id
bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, sama-sama dari
tangan ke tangan. Barang siapa yang menambahkan atau meminta tambahan sungguh
ia telah berbuat riba.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Tentang riba qardl, maka
kita mengenal kaedah fiqih yang berkaitan dengan masalah ini.
“Setiap bentuk qardl (pinjaman) yang menarik manfaat (membuahkan
bunga) adalah riba”.
Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan uang
dibalik pinjaman, termasuk riba yang dilarang oleh syari’at Islam.
Mengenai riba yadd, telah
diriwayatkan bahwa Malik bin Aus bin Hadtsan mencari-cari orang yang dapat
menukar uangnya 100 dinar, lalu datang Thalhah. Thalhah menjelaskan ciri-ciri
barangnya, sampai kemudian Malik mau menerimanya. Tatkala Thalhah mengambil
uangnya (penukar 100 dinar) ia berkata: ‘Tunggu sampai orang yang membawa
uangku sampai di al-Ghaba (nama tempat dekat Madinah)’. Peristiwa
ini kemudian didengar oleh Umar seraya berkata: ‘Tidak, demi Allah
janganlah meninggalkannya sampai ia mengambil pembayarannya’. Rasulullah
saw telah bersabda:
“Emas dengan perak
adalah riba kecuali langsung serah terima, gandum dengan gandum adalah riba
kecuali langsung serah terima, kurma dengan kurma adalah riba kecuali langsung
serah terima, sya’ir dengan sya’ir adalah riba kecuali langsung serah terima”.
Peristiwa diatas menunjukkan bahwa
pertukaran suatu barang dengan barang lainnya harus dilakukan saat itu juga.
Pengunduran waktu serah terima dari salah satu pihak dapat menyebabkan adanya
riba.
Berdasarkan pengertian beberapa macam
istilah riba ini, maka dalam praktek perekonomian dewasa ini banyak sekali yang
bisa dimasukkan dalam salah satu kategori tadi, sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan aktivitas ekonomi, perdagangan dan keuangan yang meningkat dengan
pesat. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda:
“Riba itu mempunyai 73 macam.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim dari Ibnu Mas’ud dengan sanad
shahih)
Dalam hadits lain, Rasulullah saw
mengisyaratkan akan munculnya sekelompok manusia yang menghalalkan riba dengan
dalih aspek perdagangan.
“Akan datang suatu saat nanti kepada umat
ini tatkala orang-orang menghalalkan riba dengan dalih ‘perdagangan’.” (HR Ibnu Bathah dari al-Auza’i)
Ringkasnya, dengan melihat perkembangan
perekonomian yang tumbuh dengan cepat maka definisi mengenai riba harus
mencakup seluruh bentuk riba, baik yang ada di masa Jahiliyah (seperti riba
nasi’ah, riba fadlal, riba qardl dan riba yadd) maupun riba
yang ada dimasa sekarang, seperti riba bank, termasuk didalamnya bunga
dalam pinjaman/kredit, gadai, deposito, jual beli surat berharga, jual beli
barang dengan sistem leasing, agio saham, penundaan dari salah
satu pihak yang berakad dalam pertukaran mata uang, dan sebagainya. Jadi, riba
adalah tambahan dalam akad dari salah satu pihak, baik dari segi uang,
materi/barang, waktu, maupun persyaratan lainnya tanpa ada usaha apapun dari
pihak yang menerima tambahan tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar