Sejak lama manusia selalu berkelit
terhadap setiap perkara yang menghambat segala aktivitasnya, tidak terkecuali
dalam perdagangan. Dalam prakteknya, sepanjang sejarah manusia, bidang perdagangan
dan ekonomi dipenuhi oleh perangkap-perangkap riba, yang dengan licinnya selalu
berhasil menghindari larangan berbagai agama, terutama orang-orang Yahudi dan
Nashrani dengan mengemukakan dalih yang dibuat-buat.
Di Eropa sendiri, khususnya Inggris, larangan riba dikeluarkan pada
tahun 1545 M oleh pemerintahan Raja Henry VIII. Pada saat itulah istilah riba (usury)
diganti dengan istilah bunga uang (interest). Istilah bunga uang
dikeluarkan untuk memperlunak sekaligus upaya untuk menghindar lewat jalan
belakang terhadap larangan riba yang waktu itu gencar didengungkan oleh para
ahli filsuf, pemikir maupun pihak gereja. Tetapi mereka sepakat bahwa riba (usury)
terlarang, sedangkan bunga uang (interest) dibolehkan dengan dalih demi
perdagangan (bisnis) dan selama untuk usaha yang produktif.
Pada saat itu beredar anggapan bahwa
bunga uang (interest money) sebenarnya sama dengan perdagangan. Dalam
hal ini mereka mengemukakan beberapa alasan sebagai berikut:
Misalkan, jika seseorang membeli celana dengan harga
Rp. 5000,-dan menjualnya
dengan harga Rp. 5100,- lalu dibolehkan oleh agama,
maka itu toh sama saja bila seseorang bersedia menukar Rp. 5000,-dengan Rp.
5100,- di masa yang akan datang (dalam proses pinjam meminjam dengan tempo).
Mengapa hal seperti ini harus dilarang? Apalagi kedua belah pihak sudah saling
ridha. Bahkan, dua peristiwa (keadaan) tadi dengan kelebihan uang Rp 100,-
sesungguhnya tidak ada perbedaanya dengan yang lain. Sebab, dua keadaan tersebut
berjalan dengan saling meridhai dari semua pihak yang berakad. Oleh karena itu,
jika pengambilan keuntungan Rp 100,- pada aktivitas perdagangan
dibolehkan, maka mengutip uang sebesar Rp 100,- pada kasus keduapun
harus pula dibolehkan.
Anggapan seperti ini adalah anggapan
Jahiliyah, yang menyamakan aktivitas riba dengan perdagangan. Pada saat ini
anggapan seperti itu bergaung lagi. Untuk menjawab pemahaman-pemahaman yang
menyamakan riba dengan perdagangan, maka Allah Swt menurunkan penjelasan-Nya:
“Keadaan mereka yang demikian itu adalah
disebabkan mereka mengatakan: jual-beli itu sama dengan riba’. Padahal Allah
telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (TQS. al-Baqarah [2]: 275)
Pada ayat ini, dengan tegas Allah Swt
membedakan aktivitas riba dengan perdagangan atau jual beli. Allah Swt
menghalalkan jual-beli, yang di dalamnya tidak mengandung riba, dan
mengharamkan jual-beli yang di dalamnya mengandung riba. Dengan demikian
al-Quran telah menghapuskan kesalahan yang menyamaratakan riba dengan jual-beli
dengan satu kalimat yang singkat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi: “Riba
dilarang, sedangkan jual beli dibolehkan”.
Dalam menjelaskan perbedaan mendasar
antara perdagangan dan riba, Abul Ala al-Maududi mengungkapkannya sebagai
berikut:
- Dalam perdagangan, antara pembeli dengan penjual (pemilik barang), saling mendapatkan pertukaran atas dasar persamaan. Si pembeli mendapatkan keuntungan dari benda-benda yang telah dibelinya dari si penjual, sedangkan penjual mendapatkan keuntungan karena tenaga, pikiran, dan waktu yang dibutuhkannya untuk mendapatkan barang tersebut demi kepentingan pembeli. Sedangkan dalam aktivitas riba tidak akan didapatkan pembagian keuntungan atas dasar persamaan tersebut. Si pemilik modal pasti memperoleh suatu jumlah tertentu karena meminjamkan modalnya, akan tetapi si peminjam hanya memperoleh “jangka waktu” untuk menggunakan modal tersebut. Sedangkan “waktu” saja pasti tidak akan membawa keuntungan baginya. Bahkan jika ia gunakan untuk keperluan konsumtif sudah dapat dipastikan ia tidak mungkin memperoleh keuntungan sepeserpun. Jika dalam tempo yang diberikan tersebut kemungkinan untuk mendapatkan laba sama besarnya dengan kemungkinan mendapatkan kerugian, maka akibatnya salah satu pihak dalam akad riba akan mendapatkan laba, sedangkan pihak lainnya belum tentu memperoleh keuntungan.
- Di dalam perdagangan, bagaimanapun besarnya keuntungan yang di peroleh si pemilik modal/barang, ia akan memperolehnya sekali saja, itupun jika kedua belah pihak menyetujuinya. Tetapi dalam praktek riba, si pemilik modal/barang senantiasa akan memperoleh bunga uang selama pinjaman pokoknya belum dilunasi. Bahkan, dengan bergesernya waktu, maka hutang yang tidak dapat dilunasi itu akan semakin berlipat ganda dan dapat menghabiskan seluruh harta kekayaan si peminjam.
- Dalam perdagangan, pekerjaan dan hasil jerih payah seseorang baru akan mendapatkan penghasilan berupa keuntungan setelah mengeluarkan tenaga dan pikiran. Sedangkan di dalam praktek riba, seseorang hanya meminjamkan sejumlah uang kelebihan yang tidak dipakainya, kemudian semakin lama semakin berkembang tanpa mengeluarkan pikiran maupun tenaga. Ia tidak peduli terhadap keadaan si peminjam. Ia merupakan sekutu yang tidak mempunyai kepentingan sedikitpun terhadap rugi ataupun keuntungan yang mungkin diperoleh pihak lainnya. Juga, ia tidak pula bisa berupaya untuk membawa suatu kerugian ataupun keuntungan yang terjadi dalam transaksi itu. Ia hanya bisa menghasilkan bunga uang yang dibentuknya selama waktu peminjaman itu berakhir.
0 komentar:
Posting Komentar