Al-Qur’an telah menyinggung masalah riba dalam beberapa ayatnya. Dan
sebagaimana diketahui bahwa pengharaman riba saat itu didahului beberapa ayat
yang menunjukkan kekejian riba dan ancaman yang telah menimpa orang-orang
Yahudi pada waktu lampau karena mereka sering mengambil riba dalam perdagangan
dan hutang-piutang, kemudian diturunkan satu ayat yang mengharamkan riba yang
berlipat ganda saja, ... sampai ayat yang terakhir yang mengharamkan segala
jenis bentuk riba, besar maupun kecil.
Ayat
pertama yang diturunkan tentang riba adalah
firman Allah
Swt:
“Dan suatu riba
(tambahan) yang kamu berikan untuk menambah harta manusia, maka yang
demikian itu tidak (berarti) bisa menambah di sisi Allah.” (TQS. ar-Rum
[30]: 39)
Ayat ini diturunkan di Makkah, tetapi ia
tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai haramnya riba. Yang ada hanyalah
isyarat kebencian Allah Swt terhadap riba, sekaligus peringatan supaya berhenti
dari aktivitas riba.
Sedangkan ayat yang kedua adalah
firman Allah Swt tentang tindakan Bani Israil yang menyebabkan kemurkaan Allah
Swt. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut:
“Maka lantaran
kedzaliman yang dilakukan oleh orang- orang Yahudi itu, Kami haramkan atas
mereka beberapa jenis makanan yang baik-baik, yang sedianya dihalalkan kepada
mereka. Dan lantaran perbuatan mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah
yang banyak sekali itu serta mereka yang mengambil riba, padahal mereka telah
dilarangnya.” (TQS. an-Nisa [4]: 160-161)
Ayat ini
turun di Madinah kira-kira sebelum perang Ouraidhah yang terjadi pada tahun ke
V, atau sebelum perang Bani Nadlir pada tahun ke IV H. Ayat ini memberikan kepada kita kisah (pelajaran) tentang
tingkah laku Yahudi yang melanggar
larangan Allah dengan melakukan
praktek-praktek riba. Maka merekapun mendapatkan laknat dari Allah Swt. Ayat
ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan riba, sebab kaitannya dengan
syari’at Bani Israil, dan hanya menunjukkan bagaimana perilaku orang- orang
Yahudi yang dilaknat Allah Swt.
Adapun ayat
yang ketiga adalah firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat
ganda.” (TQS. Ali Imran [3]: 130)
Ayat ini diturunkan di Madinah, dan
mengandung larangan tegas yang mengharamkan salah satu jenis riba (riba
nasiah). Berarti larangannya masih bersifat sebagian, belum menyeluruh.
Pengharaman riba pada ayat ini hanya berlaku bagi praktek-praktek riba yang
keji dan jahat, yang membungakan uang berlipat-lipat.
Ayat yang
terakhir turun mengenai riba adalah ayat:
“Hai orang-orang
yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang masih tersisa
dari riba, jika kamu orang-orang yang beriman.” (TQS. al-Baqarah [2]: 278)
Ayat ini
terkait dengan rangkaian ayat sebelumnya, yaitu:
“Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (TQS. al-Baqarah
[2]: 275)
Bagi kaum Muslim saat ini, yang hidup setelah Rasulullah saw
meninggalkan kita, maka hukum yang berlaku adalah hukum pada ayat yang
terakhir, yang telah menasakh (menghapus) hukum pada
ayat-ayat sebelumnya. Ayat di atas tadi menjelaskan bahwasanya riba diharamkan
dalam segala bentuknya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum
Muslim mengenai keharamannya, sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan Kitab
Allah, Sunnah Rasul-Nya, dan Ijma’ kaum Muslim termasuk madzhab yang empat.
Dalam hal diharamkannya riba tidak ada perbedaan antara laki-laki, perempuan,
budak, maupun mukatib, semuanya sama. Hal ini telah dimaklumi oleh kaum
Muslim sejak kurun yang pertama. Mereka memasukkan riba ke dalam
dosa/kemaksiatan yang besar, yang pelakunya akan mendapatkan azab yang tak
terperikan pedihnya di akhirat.
Memang pada akhir-akhir ini muncul
segolongan di antara kaum Muslim yang membolehkan praktek-praktek riba,
khususnya tentang bunga bank (interest) yang telah membudaya dalam
masyarakat. Mereka membolehkan riba (yang berbentuk bunga bank) dengan alasan
darurat, dan mengungkapkan bahwa pada saat ini umat tidak akan dapat melakukan
aktivitas ekonomi tanpa terkait deangan bunga atau bank. Jadi tidak ada jalan
lain kecuali membolehkannya.
Alasan seperti ini tampaknya alasan
klise, untuk menjustifikasi apa yang telah mereka lakukan. Lagi pula
terminologi darurat dalam syariat Islam adalah seperti yang dikemukakan oleh
Imam Suyuthi:
Sampainya seseorang
pada batas suatu keadaan, yang jika orang tersebut tidak melakukan hal-hal yang
dilarang, maka ia akan binasa (rusak atau mati-pen) atau mendekatinya.
Maka muncul pertanyaan, apakah keadaan
saat ini sudah sampai kepada situasi dan kondisi seperti itu? Kalau misalnya
hal ini bisa diterima, maka tentu saja yang namanya darurat itu ada batas dan masanya,
tidak akan berlaku selamanya. Berarti, bila ada seseorang menderita kelaparan
dan tidak mendapatkan jalan lain kecuali dengan meminjam uang dari bank, dengan
ketentuan riba, maka ia dibolehkan membayar uang bunga tersebut sampai
penderitaannya berlalu. Akan tetapi dasar tersebut tidak bisa diterima untuk
kebutuhan sekunder selain dari makanan dan minuman. Berdasarkan alasan tadi,
maka dalih yang dibuat oleh segolongan umat yang menghalalkan praktek riba
tidak bisa diterima.
Sebagian kaum Musllim yang imannya lemah
berpendapat, bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang keji, yang menarik
bunga sangat tinggi dan dapat mencekik leher manusia. Adapun riba yang sedikit
tidaklah haram, dengan alasan QS. Ali Imran [3]: 130 di atas.
Dalam al-Qur’an, lafadz adl ‘afan
mudla’afah (berlipat ganda) berfungsi sebagai waqi’atul ‘ain, yaitu
suatu penjelasan atas peristiwa yang pernah terjadi di masa Jahiliah, dan
menunjukkan betapa (kejinya tingkat) kejahatan yang mereka lakukan. Dan bagi
mereka yang masih awam tentang agama dan tidak mau mengerti mengenai hukum
Islam, apakah mereka tidak beriman kepada seluruh ayat al-Qur’an, apakah mereka
kufur terhadap sebagian ayat dan beriman terhadap sebagian yang lain? Mengapa
justru ayat itu yang dipakai sebagai alasan, bukan ayat QS. al-Baqarah [2]: 275
dan 278, yang telah menghapus hukum yang (ada pada ayat-ayat sebelumnya)
sebelumnya.
“Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (TQS. al-Baqarah [2]: 275)
“Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba.”
(TQS. al-Baqarah [2] :278)
Yang lebih parah adalah munculnya
segolongan diantara kaum Muslim yang mengatakan riba untuk tujuan produktif
adalah boleh, dengan alasan riba yang dilarang -sebagaimana dimasa Jahiliah-
adalah untuk keperluan konsumtif. Alasan seperti ini terlalu dibuat-buat, mencerminkan sifat-sifat orang
munafik dan orang-orang Yahudi, yang senantiasa mencari-cari alasan untuk
membenarkan tindakan mereka. Lafadz riba bermakna umum. Huruf alif dan lam
di depan menunjukkan sifat lil jins atau lil istighraq,
yang melukiskan keumumannya. Berdasarkan pengertian ini maka lafadz riba
berarti mencakup baik yang konsumtif maupun yang produktif, keduanya termasuk
riba yang diharamkan. Untuk mengeluarkan atau mengecualikan hukum-hukum dari lafadz
yang bersifat umum diperlukan dalil-dalil yang lain yang mentakhsiskan
keumuman ini. Dalam masalah riba tidak ada satu nash pun yang mentakhsis
hukum dari ayat-ayat tentang riba, sehingga hukum riba berlaku sesuai dengan
keumuman lafadznya.
0 komentar:
Posting Komentar